Rabu, 17 Juni 2009

PENGEN CERDAS AKADEMIK APA CERDAS EMOSIONAL

Sering kita mendengar obrolan yang biasanya terlontar dari orang tua yang membicarakan seputar kemampuan akademik anaknya ketika di sekolah. Pernah saya mendengar keluh kesah seorang ibu, yang membahas betapa salah satu dari dua orang putranya di sekolah tersebut selalu mendapat nilai dibawah angka 60. Ibu itu merasa malu terhadap ibu-ibu yang lain di sekolah, karena putranya selalu menjadi bahan gunjingan diantara anak-anak sekelasnya.
Nah, suatu saat lagi saya bertemu dengan seorang ibu yang lain, yang dengan bangga dan berbunga-bunganya, ibu ini mencerikatan bahwa anaknya tidak pernah mendapat nilai dibawa 90 untuk bidang studi Matematika dan IPA. Ini mungkin terdengar klise, dimana kalau melihat perkembangan pendidikan sekarang sudah bukan jamannya lagi mendikotonomikan antara cerdas akademik dan cerdas emosional. Karena pada saat ini sudah sangat diperhatikan antara keseimbangan pencapaian keduanya di semua lembaga pendidikan yang ada.
Banyak didapati orang tua sekarang lebih merasa rendah diri karena dianggap tidak berhasil jika anaknya tergolong"kurang mampu" di kelasnya. Akan tetapi, sedikit sekali orang tua yang merasa, rendah diri ketika anaknya tumbuh menjadi anak-anak yang memiliki kepribadian egois, mau menang sendiri, sensitif, sombong, suka menipu dan tidak biasa bergaul.serta kurang-kurang yang lain, yang berkaitan dari sisi moral dan etika. Dengan santainya orang tua tersebut berdalih dan bahkan memperkuat argument tentang putranya yang pada ujung-ujungnya menyatakan bahwa prilaku anaknya adalah perilaku negatif anak-anak yang sudah lumrah dan masih wajar.
Dan parahnya, sekolah juga terkadang menyikapinya dengan langkah yang kurang bijaksana. Memang, sekolah yang oleh sebagian masyarakat dianggap masih sebagai gudang menuntut ilmu, selalu ditempatkan sebagai objek yang selalu dituntut untuk menghasilkan siswa didik yang mumpuni secara kemampuan akademik. Para user dalam hal ini orang tua yang menyekolahkan di sekolah tersebut menuntut agar anaknya menjadi anak yang pandai dalam akademik. Mereka tidak terlalu peduli bagaimana cara yang ditempuh sekolah.
Dan berbagai carapun mulai ditempuh oleh sekolah untuk menghasilkan tujuan tersebut, mulai dari tambahan les sepulang sekolah, baik yang diadakan di sekolah maupun datang ke rumah. Karena bagi sekolah, jika anak didiknya mendapat nilai tinggi, terlebih-lebih ketika Unas atau UASBN, maka akan mengangkat nilai jual sekolah di mata masyarakat. Dan itu akan sangat membantu dalam hal peningkatan jumlah siswa dalam Penerimaan Siswa Baru kelak.
Maka, imbas dari eksploitasi menggapai kemampuan akademik yang berlebihan itu, jarang sekali ada sekolah yang menggembar-gemborkan akan peningkatan kualitas mental kepribadian, atau yang sering dinamakan kecerdasan emosional atau karakter, sebagai bahan untuk “menjual” sekolah ke masyarakat. Karena, bagi sekolah, terutama kepala sekolah, akan sangat bangga bila sekolahnya sering disebut-sebut, terlebih-lebih ketika rapat dengan dinas pendidikan dan dihadapan para kepala sekolah yang lain, akan keberhasilannya menempatkan siswa didiknya mulai nilai tinggi Unas/UASBN, menjadi wakil dalam Olimpiade sains dan matematika, dan sebagainya.
Padahal kita semua tahu, bahwa keberhasilan seseorang kelak lebih banyak ditentukan oleh kecerdasan emosional, Sering kita dengar cerita bahwa di setiap penerimaan test pegawai, justru yang lebih banyak diterima adalah orang-orang yang memiliki kecerdasan emosional walaupun dari sisi kecerdasan akademik, masuk dalam golongan biasa-biasa aja. Fakta inipun masih sering diabaikan oleh para orang tua dan sekolah. Nah, berangkat dari hal tersebut, patut kiranya kita sebagai orang tua, para pelaku pendidikan di sekolah, sudah mulai memperhatikan peningkatan kedua kecerdasan itu secara proporsional dan seimbang. Memang, yang paling ideal adalah anak itu memiliki kecerdasan akademik yang ditunjang dengan kecerdasan emosional. Akan tetap, itu tidak semudah sepert membalik tangan kita dalam mencapai keadaan tersebut.
Banyak yang bisa dilakukan oleh sekolah dalam meningkatkan kecerdasan emosional. Bisa dimulai dengan pengembangan pendidikan karakter siswa. Yaitu pendidikan yang menekankan bagaimana mengembangkan dan memunculkan karakter sebagai citra diri dengan maksimal. Pendidikan karakter ada-lah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Dalam pendidikan karakter ini banyak hal yang bisa dikembangkan dan dibentuk, mulai karakter cinta kepada Tuhan, Cinta kepada orang tua dan guru, cinta kepada sesama, cinta kepada alam dan lingkungan, cinta kepada Ilmu dan teknologi, cinta diri sediri, serta cinta kepada nusa dan bangsa.
Dari pembentukan karakter cinta tersebut, diharapkan akan tumbuh dalam diri siswa suatu bentuk kecerdasan emosional, yang ujung-ujungnya bermuara pada kecerdasan akademik. Dan jika ini tercapai maka dalam diri siswa akan tumbuh sifat-sifat yang selalu mengedepankan etika dan sopan santun jika menghadapi persaingan dalam meniti karirnya kelak. Karakter yang tidak mudah menghalalkan segala cara untuk berhasil, karakter yang tidak mau sikut sana sikut sini dalam berkompetensi kelak di masa dewasa. Dan hal itulah yang bisa membawa siswa didik kita memiliki kecerdasan emosional.
Pada akhirnya, mengejar nilai akademik tinggi penting, tapi yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana mencetak anak didik yang mampu menghadapi tantangan hidup masa depan dengan kemampuan dan kecerdasan emosional. Sehingga, dalam diri anak itu sejak dini sudah muncul kebiasaan-kebiasaan yang baik, memiliki moral dan etika yang tinggi, kemampuan survive di mana saja,. Dan itu bukan hal yang mustahil. Karena jika kebiasaan baik sudah tertanam, maka keinginan untuk meningkatkan kemampuan diri dalam bidang akademik akan tumbuh dengan sendirinya. Sekarang tinggal kita sebagai pelaku pendidikan dan orang tua, mau memilih yang mana untuk anak kita. Dan yang perlu kita ingat adalah “apa yang kita ukir kepada anak kita hari ini, akan menjadi pedoman hidup anak kita di masa depan”.

Bagaimana? andalah yang berhak menentukan. Selamat menjadi Orang tua yang bijaksana termauk saya juga..