Rabu, 19 November 2008

Pelajaran Berharga dari 3 Murid-muridku

Membaca dan mendengar berita kahir-akhir ini sungguh memilukan dan mengenaskan untuk kita terima. Berita tawuran antar mahasiswa di Makasar dan Jakarta, berita penganiyaan senior pada junior-nya di Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran, serta berita-berita lainnya, sekali lagi sungguh sangat “memalukan”. Memalukan karena yang melakukan sudah tergolong dewasa, memalukan karena yang melakukan mengaku dirinya kaum intelektual dan agent of change, dan lebih memalukan lagi semua itu terjadi hanya karena hal-hal sepele, seperti tersinggung karena mencela fakultas, tersinggung karena rebutan pacar, bahkan yang paling parah karena pengaruh alcohol.
Kalau di simak secara mendalam apakah mereka tidak merasa jika perilaku mereka itu akan di lihat dan disaksikan oleh generasi di bawahnya atau lebih tepatnya oleh adik-adiknya yang nota bene masih duduk di bangku SD hingga SMA. Perilaku mereka sekarang sudah bisa dilihat dengan cepat melalu media televisi yang setiap hari sudah menjadi santapan empuk bagi para pengais berita.
Pemukulan, kekerasan, penganiayaan begitu mudahnya terjadi karena hal sepele. Dan bisa kita simpulkan semua itu karena mereka sudah tidak punya bahkan sudah “buta” atau mungkin sudah “mati” perasaan dan hati nuraninya. Mereka sudah tidak mengenal arti sabar, mengalah bahkan sikap rendah hati dan tidak arogan. Mereka sudah tidak lagi menghiraukan efek selanjutnya dari apa yang diperbuat.
Mengingat itu semua saya jadi sedih. Akan tetapi di tengah-tengah kesedihan itu saya mengalami satu pengalaman berharga dari satu kejadian yang sangat menyentuh hati saya. Dimana kejadian dilakukan oleh anak/murid saya yang masih duduk di kelas V Sekolah Dasar. Kejadian itu bermula ketika saya bersama seorang teman guru mendapat tugas dari sekolah untuk mengantarkan lomba kreatifitas tingkat sekolah dasar dalam tahap seleksi tingkat kecamatan. Kebetulan setelah melalui seleksi awal (tingkat kepengawasan), sekolah kami diminta mengirimkan 3 wakil untuk seni peran. Saya sendiri mendapat tugas mendampingi 1 orang siswa untuk lomba kretifitas musik.
Setelah kami berangkat ke tempat lomba, ternyata oleh panitia kecamatan, peserta seni peran yang kami kirimkan hanya boleh menyertakan 1 (satu) peserta saja. Teman saya yang berada di dekat saya sebagai pendamping lomba seni peran itu mulai kebingungan memilih siapa yang akan diikutkan. Semua anak yang dibawa sudah “siap tempur”. Akhirnya teman saya mengutarakan masalah itu kepada 3 orang siswa tersebut apa permasalahan yang terjadi. Saya pribadi relative mengetahui kondisi mental ke-tiga siswa itu. Mereka semua termasuk anak yang selalu bersaing dan berkompetisi baik di kelas maupun di luar kelas. Dan mereka selalu punya keinginan menang yang tinggi. Tapia apa yang terjadi, tanpa ada perdebatan dan saling minta untuk diikutkan, tiba-tiba 2 orang anak sebut saja Fahmi dan Nisa langsung menunjuk , sebut saja Dewi, untuk mencoba mengikuti lomba tersebut. Masya Allah….., Subhanallah…., mungkin kalau di simak kisah tadi biasa terjadi di lingkungan anda/pembaca. Tapi bagi saya itu tadi adalah satu kejadian yang bisa dijadikan cermin bagi semua terlebih-lebih bagi kita yang sudah menganggap dirinya tua/dewasa. Bahwa anak kecil aja bisa melakukan hal seperti itu. Mereka tahu arti mengalah, memberi kesempatan pada orang lain, tidak mau menang sendiri.
Nah itulah sepenggal kisah semoga kita bisa mengambil manfaat dari kejadian itu, meskipun itu berasal dari anak kecil.

Tidak ada komentar: